Pemimpin yang baik yaitu pribadi yang selalu
mengutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri dan golongan.
Yakni
sikap dari pribadi yang peduli. Sikap peduli itu bukan diminta, tapi kesadaran
yang tumbuh dalam diri. Hati nurani yang menggerakkan dan bukan digerakkan.
Itulah cerminan pribadi yang menghargai dirinya dan sesama umat manusia.
Pertanyaannya,
masih adakah pemimpin di zaman sekarang yang selalu bersikap peduli? Dan
bagaimana masyarakat sendiri, masih memiliki sikap kepeduliaan yang tinggi
terhadap sesama?
Jika
melihat perkembangan yang ada, atau mengingat beberapa peristiwa yang terjadi
di tanah air, memang kita sangat terharu dengan sikap para pemimpin dan
masyarakat umum yang begitu peduli membantu ke lokasi kejadian. Bisa diambil
contoh ketika tsunami di Aceh beberapa tahun lalu, banyak masyarakat Indonesia
dari berbagai daerah langsung ke Aceh dan memberikan bantuan. Bahkan sampai
bantuan dari luar negeri.
Hal
ini menunjukkan masyarakat kita memiliki tingkat kepedulian yang tinggi erhadap
sesama. Demikian pula ketika musibah di daerah-daerah lainnya, misal yang
terjadi di Jogjakarta, Jawa Tengah dan sebagainya.
Namun
apakah kepedulian terhadap sesama tersebut murni panggilan kemanusian, atau
ditukangi dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Semua itu tergantung
niatnya. Semuanya harus diniatkan untuk ibadah hanya kepada Allah SWT, sehingga
ketika misalnya seorang pengusaha menjadi sukses dapat peduli dan membantu
sesama dan pada saat yang sama juga menggerakkan sesamauntuk turut berusaha
bersama membangun bangsa dan masyarakat.
Di antara cerminan sikap peduli seorang pemimpin
adalah mereka yang selalu cepat menyelesaikan ketika terjadi sebuah masalah.
Mereka harus bisa dicontoh sebagai panutan yang baik. Pemimpin yang peduli
harus senantiasa memberikan apresiasi tinggi kepada masyarakatnya, memberi
mereka solusi dalam setiap permasalahan yang dialami masyarakat.
Kita
melihat pada salah satu kisah Khalifah Umar bin Khaththab. Pada suatu malam,
Umar bin Khaththabpergi ke pinggiran Kota Hurra Waqim bersama Aslam, salah
seorang pembantunya. Ketika sampai di Shirar, Umar melihat cahaya api.
“Hai
Aslam, aku melihat di sana ada serombongan tamu yang kemalaman. Mereka terpaksa
berhenti di tempat itu karena kedinginan hingga membuat perapian untuk
menghangatkan tubuh mereka. Mari kita kesana,” kta Umar sambil menunjuk tempat
yang dimaksud. Mereka pun pergi ke tempat cahaya api tersebut. Di tempat itu
mereka menjumpai seorang perempuan besama anak-anaknya yang masih kecil. Di
atas nyala api terdapat sebuah panci yang sedang digunakan untuk memasak
sesuatu. Sementaa itu anak kecil tersebut menangis tanpa henti.
“Assalamu’alaikum,
hai ahli cahaya,” kata Umar.
“Wa’alaikumsalam,” jawab perempuan itu.
“Boleh
aku mendekat?” tanya Umar.
“Anda
boleh mendekat kemari atu meninggalkan kami,” kata perempuan itu.
Setelah
mendekat Umar bertanya, “Mengapa kalian di sini?”
“Kami
kemalaman dan kedinginan,” jawab perempuan itu.
“Mengapa
anak-anak itu mengangis?” tanya Umar.
“Mereka
kelaparan,” jawabnya perempuan itu memberitahu.
“Lalu
apa yang ibu masak dalam panci itu,?” tanya umar.
“Hanya
air sekedar mendiamkan tangis mereka sampai tertidur,” jelas perempuan itu.
“Apakah
pemerintah tidak memberikan makanan kepada ibu dan anak-anak?” tanya Umar.
Perempuan
itu teridam lalu berbicara, “Allah beserta kita dan Umar, pemimpin kami
sekarang sedang mengabaikan kami,” jawab si perepuan, tidak mengetahui bahwa
yang diajaknya berbicara adalah Umar bin Khaththab.
Umar
terdiam. Ia pamit dan segera mengajak Aslam berjalan dengan langkah yang cepat
ke gudang penyimpanan tepung. Umar mengambil satu kantong tepung dan sepotong
daging berleemak.
“Naikkan
ke punggungku,” kata Umar memberi perintah kepada Aslam.
“Biar
aku saja yang memikulnya,” jawab Aslam.
“Apakah engkau
yang memikul dosaku di hari kiamat?” ujar Umar.
Aslam
pun menaruh satu kantong tepung di punggung Umar. Lalu, Umar setengah berlari
menuju tempat si perempuan dan anak-anak tadi. Aslam mengikutinya di belakang.
Sesampainya di tempat itu, Umar menaruh tepung yang dibawanya. Ia mengambil
sebagian tepung gandum itu dan dimasukkannya ke dalam panci untuk dimasak.
“Aduklah
tepung di dalam panci itu, aku akan menyalakan apinya,” perintah Umar kepada
perempuan itu. Setelah api menyala dan adona masak, umar menurunkan makanan di
atas wadah.
“Berikan
makanan kepada anak-anakmu yang kelaparan. Biarlah aku yang akan mendinginkan
makanan ini,” kata Umar.
Setelah anak-anaknya kenyang perempuan itu berkata,
“Terima kasih, Tuan. Anda lebih baik ketimbang Amirul Mukminin Umar
bin Khaththab. Kami kira Anda yang lebih tepat untuk
menjadi pemimpin kami.”
Mendengar
itu Umar bin Khaththab tersenyum. Si perempuan itu tidak mengetahui bahwa Umar
bin Khaththab yang telah membantunya.
Demikian
kisah kepedulian dan tanggung sosial dari pemimpin Islam yang saya dapatkan
dari buku “Menyusuri Jejak Manusia Pilihan, Umar bin Khaththab” karya Abbas
Mahmud Aqqad.
Dari
cerita di atas tampak jelas bahwa masalah kemiskinan, kelaparan, atau tanggung
jawab sosial masyarakat yang tidak mampu (dhuafa) adalah tanggung jawab
pemerintah. Negara kita pun dalam Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan tentang
hal tersebut. Tapi, baru sekedar mencantumkan, belum terbukti.
Sementara
itu, munculnya kemiskinan dikarenakan persoalan ekonomi. Ketika perekonomian
diatur secara baik dan adil, maka secara bertahap kemiskinan akan dapat
diatasi. Dan yang bertanggung jawab dalam hal ini tentu saja semua elemen
masyarakat, mulai dari pemimpin, menteri, pengusaha, dan juga termasuk dalam
hal ini rakyat itu sendiri. Bentuk tanggung jawab dari masyarakat adalah dengan
rajin bekerja.
Dan
di antara solusi untuk menjadikan masyarakat menjadi mandiri adalah dengan
memberikan kepada mereka lapangan pekerjaan, memberi pendidikan yang layak,
mengadakan pelatihan keterampilan, pemberi kredit untuk membuka usaha,
pemberian modal, dan lainnya. Demikian juga perlunya kebijakan infrastruktur
guna mengurangi angka kemiskinan.
Ketika
seseorang tersebut kaya dan memiliki harta tentu mereka dapat memberi zakat,
infak, dan shadaqoh. Meskipun demikian, orang yang tidak mampu pun dapat peduli
dengan cara terus berusaha bekerja keras untuk menjadi kaya. Bukankah tangan
diatas lebih baik daripada tangan yang di bawah? Adapun cara agar masyarakat
bisa menjadi mandiri adalah dengan mencari kesempatan secara maksimal. Dalam
hal ini, pemerintah pun bertanggung jawab dengan cara membuka kesempatan kerja
yang seluas-luasnya bagi masyarakat. Beberapa usaha yang dapat membantu
masyarakat menjadi mandiri adalah mengikutiKUR (Koperasi Untuk Rakyat), BMT,
dan lainnya.
Andai
pemimpin kita seperti Umar, cepat tanggap dan cepat bergerak, pasti tidak akan
ada lagi orang-orang yang mengamen di pinggir jalandan meminta-minta. Juga
tidak akan ada anak kecil (bayi) yang meninggal dunia karena busung lapar.
Semoga saja ada yang meneladaninya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar