Assalamu'alaikum Wr. Wb. | Selamat Datang di Blog Kami... | Selamat Berkunjung dan Selamat Membaca ^^ | Salam Silaturahmi dari Kami "Ikatan Keluarga Pondok Pesantren Al-Kenaniyah IKPK"

Senin, 15 Oktober 2012

Sikap Peduli Itu Bukan Diminta



    Pemimpin yang baik yaitu pribadi yang selalu mengutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri dan golongan.
         Yakni sikap dari pribadi yang peduli. Sikap peduli itu bukan diminta, tapi kesadaran yang tumbuh dalam diri. Hati nurani yang menggerakkan dan bukan digerakkan. Itulah cerminan pribadi yang menghargai dirinya dan sesama umat manusia.
        Pertanyaannya, masih adakah pemimpin di zaman sekarang yang selalu bersikap peduli? Dan bagaimana masyarakat sendiri, masih memiliki sikap kepeduliaan yang tinggi terhadap sesama?
            Jika melihat perkembangan yang ada, atau mengingat beberapa peristiwa yang terjadi di tanah air, memang kita sangat terharu dengan sikap para pemimpin dan masyarakat umum yang begitu peduli membantu ke lokasi kejadian. Bisa diambil contoh ketika tsunami di Aceh beberapa tahun lalu, banyak masyarakat Indonesia dari berbagai daerah langsung ke Aceh dan memberikan bantuan. Bahkan sampai bantuan dari luar negeri.
            Hal ini menunjukkan masyarakat kita memiliki tingkat kepedulian yang tinggi erhadap sesama. Demikian pula ketika musibah di daerah-daerah lainnya, misal yang terjadi di Jogjakarta, Jawa Tengah dan sebagainya.
            Namun apakah kepedulian terhadap sesama tersebut murni panggilan kemanusian, atau ditukangi dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Semua itu tergantung niatnya. Semuanya harus diniatkan untuk ibadah hanya kepada Allah SWT, sehingga ketika misalnya seorang pengusaha menjadi sukses dapat peduli dan membantu sesama dan pada saat yang sama juga menggerakkan sesamauntuk turut berusaha bersama membangun bangsa dan masyarakat.
Di antara cerminan sikap peduli seorang pemimpin adalah mereka yang selalu cepat menyelesaikan ketika terjadi sebuah masalah. Mereka harus bisa dicontoh sebagai panutan yang baik. Pemimpin yang peduli harus senantiasa memberikan apresiasi tinggi kepada masyarakatnya, memberi mereka solusi dalam setiap permasalahan yang dialami masyarakat.
            Kita melihat pada salah satu kisah Khalifah Umar bin Khaththab. Pada suatu malam, Umar bin Khaththabpergi ke pinggiran Kota Hurra Waqim bersama Aslam, salah seorang pembantunya. Ketika sampai di Shirar, Umar melihat cahaya api.
            “Hai Aslam, aku melihat di sana ada serombongan tamu yang kemalaman. Mereka terpaksa berhenti di tempat itu karena kedinginan hingga membuat perapian untuk menghangatkan tubuh mereka. Mari kita kesana,” kta Umar sambil menunjuk tempat yang dimaksud. Mereka pun pergi ke tempat cahaya api tersebut. Di tempat itu mereka menjumpai seorang perempuan besama anak-anaknya yang masih kecil. Di atas nyala api terdapat sebuah panci yang sedang digunakan untuk memasak sesuatu. Sementaa itu anak kecil tersebut menangis tanpa henti.
            “Assalamu’alaikum, hai ahli cahaya,” kata Umar.
             “Wa’alaikumsalam,” jawab perempuan itu.
            “Boleh aku mendekat?” tanya Umar.
            “Anda boleh mendekat kemari atu meninggalkan kami,” kata perempuan itu.
            Setelah mendekat Umar bertanya, “Mengapa kalian di sini?”
            “Kami kemalaman dan kedinginan,” jawab perempuan itu.
            “Mengapa anak-anak itu mengangis?” tanya Umar.
            “Mereka kelaparan,” jawabnya perempuan itu memberitahu.
            “Lalu apa yang ibu masak dalam panci itu,?” tanya umar.
            “Hanya air sekedar mendiamkan tangis mereka sampai tertidur,” jelas perempuan itu.
            “Apakah pemerintah tidak memberikan makanan kepada ibu dan anak-anak?” tanya Umar.
            Perempuan itu teridam lalu berbicara, “Allah beserta kita dan Umar, pemimpin kami sekarang sedang mengabaikan kami,” jawab si perepuan, tidak mengetahui bahwa yang diajaknya berbicara adalah Umar bin Khaththab.
            Umar terdiam. Ia pamit dan segera mengajak Aslam berjalan dengan langkah yang cepat ke gudang penyimpanan tepung. Umar mengambil satu kantong tepung dan sepotong daging berleemak.
            “Naikkan ke punggungku,” kata Umar memberi perintah kepada Aslam.
            “Biar aku saja yang memikulnya,” jawab Aslam.
 “Apakah engkau yang memikul dosaku di hari kiamat?” ujar Umar.
            Aslam pun menaruh satu kantong tepung di punggung Umar. Lalu, Umar setengah berlari menuju tempat si perempuan dan anak-anak tadi. Aslam mengikutinya di belakang. Sesampainya di tempat itu, Umar menaruh tepung yang dibawanya. Ia mengambil sebagian tepung gandum itu dan dimasukkannya ke dalam panci untuk dimasak.
           “Aduklah tepung di dalam panci itu, aku akan menyalakan apinya,” perintah Umar kepada perempuan itu. Setelah api menyala dan adona masak, umar menurunkan makanan di atas wadah.
            “Berikan makanan kepada anak-anakmu yang kelaparan. Biarlah aku yang akan mendinginkan makanan ini,” kata Umar.
            Setelah anak-anaknya kenyang perempuan itu berkata, “Terima kasih, Tuan. Anda lebih baik ketimbang Amirul Mukminin Umar
bin Khaththab. Kami kira Anda yang lebih tepat untuk menjadi pemimpin kami.”
            Mendengar itu Umar bin Khaththab tersenyum. Si perempuan itu tidak mengetahui bahwa Umar bin Khaththab yang telah membantunya.
            Demikian kisah kepedulian dan tanggung sosial dari pemimpin Islam yang saya dapatkan dari buku “Menyusuri Jejak Manusia Pilihan, Umar bin Khaththab” karya Abbas Mahmud Aqqad.
            Dari cerita di atas tampak jelas bahwa masalah kemiskinan, kelaparan, atau tanggung jawab sosial masyarakat yang tidak mampu (dhuafa) adalah tanggung jawab pemerintah. Negara kita pun dalam Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan tentang hal tersebut. Tapi, baru sekedar mencantumkan, belum terbukti.
            Sementara itu, munculnya kemiskinan dikarenakan persoalan ekonomi. Ketika perekonomian diatur secara baik dan adil, maka secara bertahap kemiskinan akan dapat diatasi. Dan yang bertanggung jawab dalam hal ini tentu saja semua elemen masyarakat, mulai dari pemimpin, menteri, pengusaha, dan juga termasuk dalam hal ini rakyat itu sendiri. Bentuk tanggung jawab dari masyarakat adalah dengan rajin bekerja.
            Dan di antara solusi untuk menjadikan masyarakat menjadi mandiri adalah dengan memberikan kepada mereka lapangan pekerjaan, memberi pendidikan yang layak, mengadakan pelatihan keterampilan, pemberi kredit untuk membuka usaha, pemberian modal, dan lainnya. Demikian juga perlunya kebijakan infrastruktur guna mengurangi angka kemiskinan.
                        Ketika seseorang tersebut kaya dan memiliki harta tentu mereka dapat memberi zakat, infak, dan shadaqoh. Meskipun demikian, orang yang tidak mampu pun dapat peduli dengan cara terus berusaha bekerja keras untuk menjadi kaya. Bukankah tangan diatas lebih baik daripada tangan yang di bawah? Adapun cara agar masyarakat bisa menjadi mandiri adalah dengan mencari kesempatan secara maksimal. Dalam hal ini, pemerintah pun bertanggung jawab dengan cara membuka kesempatan kerja yang seluas-luasnya bagi masyarakat. Beberapa usaha yang dapat membantu masyarakat menjadi mandiri adalah mengikutiKUR (Koperasi Untuk Rakyat), BMT, dan lainnya.
            Andai pemimpin kita seperti Umar, cepat tanggap dan cepat bergerak, pasti tidak akan ada lagi orang-orang yang mengamen di pinggir jalandan meminta-minta. Juga tidak akan ada anak kecil (bayi) yang meninggal dunia karena busung lapar. Semoga saja ada yang meneladaninya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar